BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Kinerja Karyawan
Menurut
Rivai (2009:548) kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan.
Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya memiliki derajat
kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang
tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas
tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kinerja
merupakan prilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja
yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Kinerja
karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk
mencapai tujuannya
Menurut Mangkunegara,(2006:167) kinerja
karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang
diberikan kepadanya. Sementara menurut Wirawan (2009:5) mengatakan
kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau
indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu.
Sedangkan
menurut Hasibuan, (2009:105) kinerja
karyawan adalah suatu hasil yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan,
pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Sesuai
dengan uraian ringkas beberapa ungkapan teori dari beberapa ahli yang telah
dikemukakan tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil-hasil fungsi pekerjaan/kegiatan
seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu.
2.1.1
Faktor-faktor
yang Mempegaruhi Kinerja Karyawan
Menurut
Scermerhorn, Hunt dan Osborn, (2000:256)
terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu atribut individu, kemampuan untuk bekerja dan dukungan operasional.
Atribut individu, dengan
adanya berbagai atribut individu yang melekat pada individu akan dapat
membedakan individu yang satu dengan yan lainnya. Faktor ini merupakan
kecakapan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang telah ditentukan,
terdiri dari karakteristik demografi, misalnya: umur,
jenis kelamin dan lain-lain, karakteristik
kompeteisi, misalnya: bakat, kecerdasan, kemampuan dan keterampilan dan karakteristik
psikologi, yaitu nilai-nilai yang dianut, sikap dan kepribadian.
Kemampuan
untuk Bekerja, dengan berbagai atribut yang melekat pada
individu untuk menujukkan adanya kesempatan yang sama untuk mencapai suatu
prestasi, hanya untuk mencapai kinerja yang baik diperlukan usaha atau kemauan
untuk bekerja keras karena kemauan merupakan suatu kekuatan pada individu yang
dapat memacu usaha kerja serta dapat memberikan suatu arah dan ketekunan.
Dukungan
Operasional, dalam mencapai kinerja karyawan yang
tinggi diperlukan juga adanya dukungan atau kesempatan dari
organisasi/perusahaan. Hal ini untuk mengantisipasi keterbatasan baik dari
karyawan maupun perusahaan. Misal kelengkapan peralatan dan perlengkapan
kejelasan dalam memberikan informasi.
Jadi
kesimpulannya adalah tinggi rendahnya kinerja yang dicapai karyawan dipengaruhi
tiga hal, dukungan serta kesempatan yang diberikan perusahaan adalah hak yang
mutlak sedangkan kemampuan merupakan sesuatu yang ada didalam diri karyawan
sendiri yang dapat dikembangkan.
2.1.2 Pengukuran Kinerja Karyawan
Bernardin dan Russel (1995:383) dalam Sutrisno (2010:179)
mengajukan enam kinerja primer yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja
yaitu Quality, Quantity, Timeliness, Cost efectiveness, Need for supervision serta Interpersonal
impact.
Quality,
merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan kegiatan mendekati
kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan. Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah
,unit dan siklus kegiatan yang dilakukan.
Timeliness,
merupakan sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dikehendaki,
dengan memerhatikan koordinasi output lain serta waktu yang tersedia untuk
kegiatan orang lain. Cost efectiveness,
merupakan tingkat sejauh mana penggunaan sumber daya manusia (manusia,
keuangan, teknologi, dan material) dimaksimalkan untuk mencapai hasil tertinggi
atau pengurangan kerugian dari setiap unit penggunaan sumber daya.
Need for supervision,
merupakan tingkat sejauh mana seorang pekerja dapat melaksanakan suatu fungsi
pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seseorang supervisor untuk mencegah
tindakan yang kurang diinginkan. Interpersonal
impact, merupakan tingkat sejauh mana pegawai memelihara harga diri, nama
baik, dan kerja-sama diantara rekan kerja dan bawahan.
2.1.3 Faktor
yang Menentukan Kinerja Karyawan
Wirawan (2009:6) mengatakan kinerja pegawai merupakan
hasil sinergi dari sejumlah faktor. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai
berikut faktor internal pegawai, faktor-faktor lingkungan internal organisasi serta faktor
lingkungan eksternal organisasi.
Faktor internal pegawai merupakan faktor-faktor
dari dalam diri pegawai yang merupakan faktor bawaan dari lahir dan faktor yang
diperoleh ketika ia berkembang. Faktor-faktor bawaan misalnya bakat, sifat
pribadi, serta keadaan fisik, dan kejiwaan. Sementara itu, faktor-faktor yang
diperoleh, misalnya pengetahuan, keterampilan, etos kerja, disiplin kerja, pengalaman
kerja, motivasi kerja, dan kepuasan kerja. Setelah dipengaruhi oleh lingkungan
internal organisasi dan lingkungan eksternal, faktor internal pegawai ini
menentukan kinerja pegawai. Jadi dapat diasumsikan bahwa makin tinggi
faktor-faktor internal tersebut, makin tinggi pula kinerja pegawai. Sebaliknya,
makin rendah faktor-faktor tersebut, makin rendah pula kinerjanya.
Faktor-faktor lingkungan internal organisasi, dimana dalam
melaksanakan tugasnya, pegawai memerlukan dukungan organisasi tempat ia
bekerja. Dukungan tersebut sangat mempengaruhi tingkat tinggi rendahnya kinerja
pegawai. Misalnya jika sistem kompensasi dan iklim kerja organisasi serta
budaya organisasi buruk kinerja karyawan akan menurun. Faktor internal
organisasi lainnya misalnya strategi organisasi, dukungan sumber daya yang
diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan, teknologi (robot, system produksi dan sebagainya) serta sistem
manajemen, dan kompensasi. Oleh karena itu manajemen organisasi harus
menciptakan lingkungan internal organisasi yang kondusif sehingga dapat
mendukung dan meningkatkan produktivitas karyawan.
Faktor-faktor lingkungan eksternal organisasi
adalah keadaan, kejadian, atau situasi yang terjadi di lingkungan eksternal
organisasi yang mempengaruhi kinerja karyawan. Misalnya krisis ekonomi, dan
keuangan yang terjadi di Indonesia meningkatkan inflasi dan menurunkan nilai
upah dan gaji karyawan dan selanjutnya menurunkan daya beli karyawan. Jika
inflasi tidak diikuti dengan kenaikan upah atau gaji para karyawan yang sepadan
dengan tingkat inflasi, maka kinerja mereka akan menurun.
Wirawan (2009:9)
mengatakan faktor internal karyawan bersinergi dengan faktor-faktor lingkungan
internal organisasi dan faktor-faktor lingkungan eksternal organisasi. Sinergi
ini mempengaruhi perilaku kerja karyawan yang kemudian mempengaruhi kinerja
karyawan. Kinerja karyawan kemudian menentukan kinerja organisasi.
2.2
Kepemimpinan
Kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting
dalam manajemen. Oleh karena itu kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya
keterbatasan-keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada diri manusia.
Disatu pihak manusia terbatas kemampuan untuk memimpin. Dari sinilah timbul
kebutuhan untuk memimpin dan dipimpin
Para ahli bidang organisasi umumnya mengajukan
pengertian tersendiri mengenai kepemimpinan. Kepemimpinan didefinisikan kedalam
ciri individual, kebiasaan, cara mempengaruhi orang lain, interaksi, kedudukan
dalam administrasi dan persepsi mengenai pengaruh yang sah.
Menurut Rivai (2006:2) defenisi kepemimpinan secara
luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi,
memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk
memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu juga mempengaruhi interpretasi
mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan
aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memlihara hubungan kerja sama dan
kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang di luar
kelompok atau organisasi.
Menurut Samsudin (2006:287) kepemimpinan adalah
kemampuan meyakinkan dan menggerakkan orang lain agar mau bekerja sama di bawah
kepemimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Gaya kepemimpinan
seorang pemimpin adalah unik dan tidak dapat diwariskan secara otomatis. Setiap
pemimpin memiliki karakteristk tertentu yang timbul pada situasi yang berbeda.
Menurut Anoraga (1992) dalam Sutrisno (2009:214)
mengemukakan kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain,
melalui komunikasi baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk
menggerakkan orang-orang agar dengan penuh pengertian, kesadaran, dan senang
hati bersedia mengikuti kehendak pimpinan itu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
pihak lain, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi
untuk memperbaiki kelompok dan budayanya melalui komunikasi baik langsung
maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakkan orang-orang agar dengan
penuh pengertian, kesadaran, dan senang hati bersedia mengikuti kehendak
pimpinan itu sebagai suatu tim untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2.2.1 Ciri-Ciri Kepemimpinan
Menurut Davis yang dikutip
oleh Reksohadiprodjo
dan Handoko (2003:290-291) ciri-ciri utama yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin adalah kecerdasan (intelegence), kedewasaan sosial dan hubungan sosial
yang luas (Social Maturity and Breand), motivasi
diri dan dorongan berprestasi serta sikap-sikap
hubungan manusiawi
Penelitian-penelitian pada umumnya menunjukkan bahwa
seorang pemimpin yang mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi daripada
pengikutnya, tetapi tidak sangat berbeda. Pemimpin
cenderung mempunyai emosi yang stabil dan dewasa atau matang, serta mempunyai
kegiatan dan perhatian yang luas. Pemimpin
secara relatif mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi dan mereka
bekerja keras lebih untuk nilai instrinsik. Seorang
pemimpin yang sukses akan mengakui harga diri dan martabat
pengikut-pengikutnya, mempunyai perhatian yang tinggi dan berorientasi pada
bawahannya
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
seorang pemimpin harus mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari para
bawahannya, serta mempunyai kedewasaan sosial dan hubungan sosial
yang luas serta mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi
yang tinggi pula.
2.2.2 Tanggungjawab dan Wewenang Kepemimpinan
Menurut Ranupandojo (2002) dengan mengutip pendapat
Miljus (2001:218)
menyatakan bahwa tanggung jawab
para pemimpin adalah sebagai berikut menentukan
tujuan pelaksanaan kerja realitas (dalam arti kuantitas, kualitas, keamanan dan
sebagainya), melengkapi para karyawan dengan sumber
daya-sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan tuasnya, mengkomunikasikan
pada karyawan tentang apa yang diharapkan dari mereka, memberikan
susunan imbalan atau hadiah yang sepadan untuk mendorong prestasi.
Kemudian mendelegasikan wewenang apabila
diperlukan dan mengundang partisipasi apabila memungkinkan, menghilangkan
hambatan untuk pelaksanaan pekerjaan yang efektif, menilai
pelaksanaan pekerjaan dan mengkomunikasikan hasilnya serta menunjukkan
perhatian kepada bawahan, yang penting dalam hal ini adalah tanggungjawab
dalam memadukan seluruh kegiatan dalam mencapai tujuan organisasi tersebut
seharmonis mungkin, sehingga tercapainya tujuan organisasi yang efektif dan
efisien.
Wewenang kepemimpinan dapat diperoleh dari dua
sumber yaitu dari atas atau penetapan dari atas (Top Down Authority) dan dapat pula berasal dari pilihan anggota
yang akan menjadi bawahan (Bottom up
authority). Pada Top Down Authority
kewenangan memimpin atau memerintah diberikan oleh atasannya (kekuasaan puncak bawah). Sedangkan pada
Bottom Up Authority pimpinan dipilih
oleh mereka yang akan menjadi bawahannya. Dengan demikian bawahan akan
menghargai wewenang itu karena mereka mempunyai pimpinan yang berkewenangan.
2.2.3 Gaya Kepemimpinan.
Menurut Rivai (2006:64) gaya artinya sikap, gerakan,
tingkah laku, sikap yang elok, gerak-gerik yang bagus, kekuatan, kesanggupan
untuk berbuat baik. Sedangkan gaya kepemimpinan menurut Rivai (2006:64) adalah
sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran
organisasi tercapai atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah
pola perilaku dan stratagi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang
pemimpin.
Menurut Rivai (2006:64) gaya kepemimpinan adalah pola
menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak
tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang
konsisten dari falsafah, keterampilan sifat dan sikap yang mendasari perilaku
seseorang. Gaya kepemimpinan yang menunjukkan, secara langsung maupun tidak
langsung tentang keyakinan seorang pimpinan terhadap kemampuan bawahannya,
artinya gaya kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi
dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap yang sering diterapkan oleh seorang
pemimpina ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya.
Pada saat yang bagaimanapun jika seseorang berusaha
untuk mempengaruhi perilaku orang lain, telah melibatkan seseorang dalam
aktivitas kepemimpinan. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang
digunakan seseorang pada saat orang tersebut mempengaruhi perilaku orang lain.
Menurut Sukanto Reksohadiprodjo dan Handoko (2001:96)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu cara
pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya. Sedangkan
menurut Stoner yang dialih bahasakan oleh Sindoro, (2001:165)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah berbagai pola
tingkah laku yang disukai oleh pimpinan dalam proses mengarahkan dan
mempengaruhi pekerja.
2.2.4 Kepemimpinan transformasional
Robbins (2006:472) mengatakan
pemimpin transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi para pengikut
untuk melampaui kepentingan pribadi mereka dan yang mampu membawa dampak
mendalam dan luar biasa pada para pengikut. Sedangkan Rivai (2006:15)
mengatakan pemimpin transformasional adalah pemimpin yang memberikan
pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan yang memiliki
karisma.
Sementara Burns (1978)
dalam Luthans (2006:653) mengatakan kepemimpinan transformasional lebih
mendasarkan pada pergeseran nilai dan kepercayaan pemimpin serta kebutuhan para
pengikutnya. Selanjutnya Bass (1990)
dalam Luthans (2006:653) mengatakan kepemimpinan transformasional membawa
keadaan menuju kinerja tinggi pada organisasi yang menghadapi tuntutan
pembaharuan dan perubahan, dengan membantu kepemimpinan tranformasional melalui
kebijakan rekruitmen seleksi, promosi dan pelatihan,dan pengembangan akan
menghasilkan kesehatan, kebahagiaan dan kinerja efektif pada organisasi masa
kini.
Tichy dan Devanna
(1986) dalam Luthans (2006:653-654) mengatakan bahwa pemimpin transformasional
yang efektif memiliki karakter sebagai berikut
Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai alat perubahan, mereka berani, mereka
mempercayai orang lain, mereka motor penggerak nilai, mereka pembelajar
sepanjang masa, mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi kompleksitas, ambiguitas,
dan ketidakpastian, mereka visioner.
Menurut
Bass (1990) dalam Robins (2006:473) mengatakan kharakteristik pemimpin transformasional
terdiri dari kharisma, inspirasi, stimulasi intelektual, dan pertimbangan
individual.
Kharisma berupa memberikan
visi dan rasa atas misi, menanamkan kebanggaan, meraih penghormatan dan
kepercayaan. Inspirasi berupa mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan
simbol untuk memfokuskan pada usaha, menggambarkan maksud penting secara
sederhana.
Stimulasi intelektual
berupa mendorong integensia, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara
hati-hati. Pertimbangan individual berupa memberikan perhatian pribadi, melayani
karyaan secara pribadi, melatih, menasehati.
2.3
Kepuasan
Kerja
Menurut
Hariandja (2002:290) kepuasan kerja didefinisikan sebagai sejauh mana individu
merasakan secara positif atau negatif berbagai macam faktor atau dimensi dari
tugas-tugas dalam pekerjaannya. Sedangkan menurut Hasibuan (2009:202) kepuasan
kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya.
Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja.
Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan dan kombinasi dalam
dan luar pekerjaan.
Luthans
(2006:252) mendefenisikan kepuasan keja sebagai keadaan emosi yang menyenangkan
atau positif yang berasal dari penilaian
pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.
Menurut
Gomes (2003:178) kepuasan kerja itu sendiri dapat diartikan sebagai hasil
kesimpulan yang didasarkan pada perbandingan mengenai apa yang secara nyata
diterima oleh pegawai dari pekerjaannya dibandingkan dengan apa yang
diharapkan, diinginkan dan dipikirkan
sebagai hal yang pantas atau berhak baginya.
Kepuasan
kerja dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan
dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan
suasana lingkungan kerja yang baik.
Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan
kerja dalam pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaannya dari
pada balas jasa walaupun balas jasa itu
penting.
Kepuasan
di luar pekerjaan adalah kepuasan kerja karyawan yang dinikmati diluar
pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil kerjanya
agar dia dapat membeli kebutuhan-kebutuhannya. Kepuasan kerja kombinasi dalam
dan luar pekerjaan adalah kepuasan kerja
yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan
pelaksanaan pekerjaannya. Karyawan yang lebih menikmati kepuasan kerja
kombinasi dalam dan luar pekerjaan akan merasa puas jika hasil kerja dan balas
jasanya dirasa adil dan layak.
2.3.1 Teori-Teori Kepuasan Kerja
Menurut
Cantika (2005 : 190) bahwa teori-teori tentang kepuasan kerja dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam yaitu Disperancy theory, Equity theory, dan Two factor
theory:
Disperancy
theory (Teori Perbedaan), teori
ini pertama kali dipelopori oleh Porter. Porter mengukur kepuasan kerja
seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan
yang dirasakan (difference between
how much of something there should be and how much there “is now”).
Locke
juga menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada perbedaan (disperancy) antara nilai dari harapan yang diinginkan,
dengan apa yang menurut perasaan atau persepsinya yang telah dicapai atau
diperoleh dari pekerjaannya. Sebaliknya semakin jauh kenyataan yang dirasakan
tersebut di bawah standar minimum maka
akan terjadi perbedaan negatif (negative disperancy), dan akan semakin
besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaan.
Equity
theory (Teori Keseimbangan), equity teori pertama kali dikembangkan oleh
Adam (1963). Prinsip Teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak
puas, tergantung apakah ia akan merasakan adanya keadilan (equity) atau
tidak atas suatu situasi yang diperoleh dengan membandingkan dirinya dengan
orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain.
Two
faktor theory (Teori Dua Faktor), teori dua factor yaitu merupakan factor yang
membuat orang merasa puas (statisfers) dan faktor yang membuat orang
merasa tidak puas (dissatisfiers). Dalam pandangan lain dua faktor yang dimaksud
dalam teori ini adalah adanya dua rangkaian kondisi, pertama kondisi menyebabkan orang merasa tidak puas,
jika kondisi itu ada dan tidak diperhatikan, maka orang itu tidak akan
termotivasi.
Kondisi
kedua digambarkan Hezberg dalam Cantika (2005 : 193) sebagai serangkaian
kondisi intrinsik, apabila kepuasan kerja terdapat dalam pekerjaan akan
menggerakkan tingkat motivasi kerja yang kuat, sehingga dapat menghasilkan
prestasi kerja yang baik. Apabila kondisi tersebut tidak ada, maka kondisi
tersebut ternyata tidak menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Faktor-faktor motivator yang perlu
diperhatikan kepada bawahan keberhasilan pelaksanaan (achievement),
tanggung jawab (responsibilities), pengakuan (recognition),
pengembangan (advancement) serta pekerjaan itu sendiri (the work it
self).
2.3.2 Ciri-Ciri Karyawan Yang Memiliki Kepuasan
Dalam Bekerja
Menurut
Robbins (2006:105) ciri-ciri karyawan yang memiliki kepuasan dalam bekerja
adalah karyawan yang merasa puas akan lebih efektif dalam mengerjakan
pekerjaannya, tingkat absensi yang rendah dari pekerjaannya, karyawan lebih
bertahan terhadap organisasinya, karyawan melaksanakan pekerjaannya melebihi
standar yang ditetapkan organisasinya, karyawan meningkatkan kepuasan dan
kesetiaan pelanggannya.
2.3.3 Cara Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan
Robbins
(2006:108) mengatakan ketidakpuasan karyawan dapat diungkapan dalam sejumlah
cara. Misalnya, daripada mengundurkan diri, karyawan dapat mengeluh, menjadi
tidak patuh, mencuri property organisasi, atau menghindari sebagian
tanggungjawab kerja mereka. Cara karyawan mengungkapkan ketidakpuasan terdiri
atas dua dimensi yaitu konstruktif, destruktif dan aktif / pasif.
Dimensi-dimensi tersebut dijabarkan dengan cara jika keluar maka perilaku
diarahkan ke meninggalkan organisasi, yang meliputi mencari posisi baru sekaligus
mengundurkan diri, selanjutnya jika bersuara maka secara aktif dan konstruktif
berupaya memperbaiki kondisi, yang meliputi menyarankan perbaikan,
mendiskusikan masalah dengan atasan, dan sebagian bentuk kegiatan perserikatan.
Sementara kesetiaan diwujudkan secara pasif namun optimis menunggu perbaikan
kondisi, yang meliputi membela organisasi dari kritikan eksternal dan
mempercayai organisasi dan manajemennya untuk “melakukan hal yang benar”,
terakhir pengabaian, dimana secara pasif membiarkan keadaan memburuk, yang
meliputi keabsenan atau keterlambatan kronis, penurunan usaha, dan peningkatan
tingkat kesalahan
2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Luhans
(2006:243) mengatakan ada lima faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu pekerjaan
itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, pengawasan dan rekan kerja.
Pekerjaan
itu sendiri dilihat dalam hal dimana pekerjaaan memberikan tugas yang menarik kesempatan
untuk belajar ,dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. selanjutnya gaji yang
merupakan sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini bias di
pandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam
organisasi. Kemudian kesempatan promosi berupa kesempatan untuk maju dalam
organisasi. Selanjutnya pengawasan, kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan
teknis dan dukungan perilaku serta rekan kerja, tingkat di mana rekan kerja
pandai secara teknis dan mendukung secara sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar