Jumat, 22 Maret 2013

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1      Kinerja Karyawan
            Menurut Rivai (2009:548) kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kinerja merupakan prilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Kinerja karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya perusahaan untuk mencapai tujuannya
Menurut Mangkunegara,(2006:167) kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Sementara menurut Wirawan (2009:5) mengatakan kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu.   
Sedangkan menurut Hasibuan, (2009:105) kinerja karyawan adalah suatu hasil yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
            Sesuai dengan uraian ringkas beberapa ungkapan teori dari beberapa ahli yang telah dikemukakan tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan  hasil-hasil fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu.

2.1.1        Faktor-faktor yang Mempegaruhi Kinerja Karyawan
Menurut Scermerhorn, Hunt dan Osborn, (2000:256) terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu atribut individu, kemampuan untuk bekerja dan dukungan operasional.
Atribut individu, dengan adanya berbagai atribut individu yang melekat pada individu akan dapat membedakan individu yang satu dengan yan lainnya. Faktor ini merupakan kecakapan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang telah ditentukan, terdiri dari karakteristik demografi, misalnya: umur, jenis kelamin dan lain-lain, karakteristik kompeteisi, misalnya: bakat, kecerdasan, kemampuan dan keterampilan dan karakteristik psikologi, yaitu nilai-nilai yang dianut, sikap dan kepribadian.
Kemampuan untuk Bekerja, dengan berbagai atribut yang melekat pada individu untuk menujukkan adanya kesempatan yang sama untuk mencapai suatu prestasi, hanya untuk mencapai kinerja yang baik diperlukan usaha atau kemauan untuk bekerja keras karena kemauan merupakan suatu kekuatan pada individu yang dapat memacu usaha kerja serta dapat memberikan suatu arah dan ketekunan.
Dukungan Operasional, dalam mencapai kinerja karyawan yang tinggi diperlukan juga adanya dukungan atau kesempatan dari organisasi/perusahaan. Hal ini untuk mengantisipasi keterbatasan baik dari karyawan maupun perusahaan. Misal kelengkapan peralatan dan perlengkapan kejelasan dalam memberikan informasi.
Jadi kesimpulannya adalah tinggi rendahnya kinerja yang dicapai karyawan dipengaruhi tiga hal, dukungan serta kesempatan yang diberikan perusahaan adalah hak yang mutlak sedangkan kemampuan merupakan sesuatu yang ada didalam diri karyawan sendiri yang dapat dikembangkan.

2.1.2    Pengukuran Kinerja Karyawan
Bernardin dan Russel (1995:383) dalam Sutrisno (2010:179) mengajukan enam kinerja primer yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja yaitu Quality, Quantity, Timeliness, Cost efectiveness, Need for supervision serta Interpersonal impact.
Quality, merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan. Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah ,unit dan siklus kegiatan yang dilakukan.
Timeliness, merupakan sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dikehendaki, dengan memerhatikan koordinasi output lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan orang lain. Cost efectiveness, merupakan tingkat sejauh mana penggunaan sumber daya manusia (manusia, keuangan, teknologi, dan material) dimaksimalkan untuk mencapai hasil tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap unit penggunaan sumber daya.
Need for supervision, merupakan tingkat sejauh mana seorang pekerja dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seseorang supervisor untuk mencegah tindakan yang kurang diinginkan. Interpersonal impact, merupakan tingkat sejauh mana pegawai memelihara harga diri, nama baik, dan kerja-sama diantara rekan kerja dan bawahan.

2.1.3    Faktor yang Menentukan Kinerja Karyawan
            Wirawan (2009:6) mengatakan kinerja pegawai merupakan hasil sinergi dari sejumlah faktor. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut faktor internal pegawai, faktor-faktor  lingkungan internal organisasi serta faktor lingkungan eksternal organisasi.
Faktor internal pegawai merupakan faktor-faktor dari dalam diri pegawai yang merupakan faktor bawaan dari lahir dan faktor yang diperoleh ketika ia berkembang. Faktor-faktor bawaan misalnya bakat, sifat pribadi, serta keadaan fisik, dan kejiwaan. Sementara itu, faktor-faktor yang diperoleh, misalnya pengetahuan, keterampilan, etos kerja, disiplin kerja, pengalaman kerja, motivasi kerja, dan kepuasan kerja. Setelah dipengaruhi oleh lingkungan internal organisasi dan lingkungan eksternal, faktor internal pegawai ini menentukan kinerja pegawai. Jadi dapat diasumsikan bahwa makin tinggi faktor-faktor internal tersebut, makin tinggi pula kinerja pegawai. Sebaliknya, makin rendah faktor-faktor tersebut, makin rendah pula kinerjanya.
Faktor-faktor  lingkungan internal organisasi, dimana dalam melaksanakan tugasnya, pegawai memerlukan dukungan organisasi tempat ia bekerja. Dukungan tersebut sangat mempengaruhi tingkat tinggi rendahnya kinerja pegawai. Misalnya jika sistem kompensasi dan iklim kerja organisasi serta budaya organisasi buruk kinerja karyawan akan menurun. Faktor internal organisasi lainnya misalnya strategi organisasi, dukungan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan, teknologi (robot,  system produksi dan sebagainya) serta sistem manajemen, dan kompensasi. Oleh karena itu manajemen organisasi harus menciptakan lingkungan internal organisasi yang kondusif sehingga dapat mendukung dan meningkatkan produktivitas karyawan.
Faktor-faktor lingkungan eksternal organisasi adalah keadaan, kejadian, atau situasi yang terjadi di lingkungan eksternal organisasi yang mempengaruhi kinerja karyawan. Misalnya krisis ekonomi, dan keuangan yang terjadi di Indonesia meningkatkan inflasi dan menurunkan nilai upah dan gaji karyawan dan selanjutnya menurunkan daya beli karyawan. Jika inflasi tidak diikuti dengan kenaikan upah atau gaji para karyawan yang sepadan dengan tingkat inflasi, maka kinerja mereka akan menurun.
            Wirawan (2009:9) mengatakan faktor internal karyawan bersinergi dengan faktor-faktor lingkungan internal organisasi dan faktor-faktor lingkungan eksternal organisasi. Sinergi ini mempengaruhi perilaku kerja karyawan yang kemudian mempengaruhi kinerja karyawan. Kinerja karyawan kemudian menentukan kinerja organisasi.


2.2         Kepemimpinan
Kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting dalam manajemen. Oleh karena itu kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya keterbatasan-keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada diri manusia. Disatu pihak manusia terbatas kemampuan untuk memimpin. Dari sinilah timbul kebutuhan untuk memimpin dan dipimpin
Para ahli bidang organisasi umumnya mengajukan pengertian tersendiri mengenai kepemimpinan. Kepemimpinan didefinisikan kedalam ciri individual, kebiasaan, cara mempengaruhi orang lain, interaksi, kedudukan dalam administrasi dan persepsi mengenai pengaruh yang sah.
Menurut Rivai (2006:2) defenisi kepemimpinan secara luas meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Selain itu juga mempengaruhi interpretasi mengenai peristiwa-peristiwa para pengikutnya, pengorganisasian dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memlihara hubungan kerja sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang di luar kelompok atau organisasi.
Menurut Samsudin (2006:287) kepemimpinan adalah kemampuan meyakinkan dan menggerakkan orang lain agar mau bekerja sama di bawah kepemimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin adalah unik dan tidak dapat diwariskan secara otomatis. Setiap pemimpin memiliki karakteristk tertentu yang timbul pada situasi yang berbeda.
Menurut Anoraga (1992) dalam Sutrisno (2009:214) mengemukakan kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, melalui komunikasi baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakkan orang-orang agar dengan penuh pengertian, kesadaran, dan senang hati bersedia mengikuti kehendak pimpinan itu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya melalui komunikasi baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakkan orang-orang agar dengan penuh pengertian, kesadaran, dan senang hati bersedia mengikuti kehendak pimpinan itu sebagai suatu tim untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

2.2.1    Ciri-Ciri Kepemimpinan
Menurut Davis yang dikutip oleh Reksohadiprodjo dan Handoko (2003:290-291) ciri-ciri utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kecerdasan (intelegence), kedewasaan sosial dan hubungan sosial yang luas (Social Maturity and Breand), motivasi diri dan dorongan berprestasi serta sikap-sikap hubungan manusiawi
Penelitian-penelitian pada umumnya menunjukkan bahwa seorang pemimpin yang mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi daripada pengikutnya, tetapi tidak sangat berbeda. Pemimpin cenderung mempunyai emosi yang stabil dan dewasa atau matang, serta mempunyai kegiatan dan perhatian yang luas. Pemimpin secara relatif mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi dan mereka bekerja keras lebih untuk nilai instrinsik. Seorang pemimpin yang sukses akan mengakui harga diri dan martabat pengikut-pengikutnya, mempunyai perhatian yang tinggi dan berorientasi pada bawahannya
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari para bawahannya, serta mempunyai kedewasaan sosial dan hubungan sosial yang luas serta  mempunyai motivasi dan dorongan berprestasi yang tinggi pula.

2.2.2    Tanggungjawab dan Wewenang Kepemimpinan
Menurut Ranupandojo (2002) dengan mengutip pendapat Miljus (2001:218) menyatakan bahwa tanggung jawab para pemimpin adalah sebagai berikut menentukan tujuan pelaksanaan kerja realitas (dalam arti kuantitas, kualitas, keamanan dan sebagainya), melengkapi para karyawan dengan sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan tuasnya, mengkomunikasikan pada karyawan tentang apa yang diharapkan dari mereka, memberikan susunan imbalan atau hadiah yang sepadan untuk mendorong prestasi.
Kemudian mendelegasikan wewenang apabila diperlukan dan mengundang partisipasi apabila memungkinkan, menghilangkan hambatan untuk pelaksanaan pekerjaan yang efektif, menilai pelaksanaan pekerjaan dan mengkomunikasikan hasilnya serta menunjukkan perhatian kepada bawahan, yang penting dalam hal ini adalah tanggungjawab dalam memadukan seluruh kegiatan dalam mencapai tujuan organisasi tersebut seharmonis mungkin, sehingga tercapainya tujuan organisasi yang efektif dan efisien.
Wewenang kepemimpinan dapat diperoleh dari dua sumber yaitu dari atas atau penetapan dari atas (Top Down Authority) dan dapat pula berasal dari pilihan anggota yang akan menjadi bawahan (Bottom up authority). Pada Top Down Authority kewenangan memimpin atau memerintah diberikan oleh atasannya (kekuasaan puncak bawah). Sedangkan pada Bottom Up Authority pimpinan dipilih oleh mereka yang akan menjadi bawahannya. Dengan demikian bawahan akan menghargai wewenang itu karena mereka mempunyai pimpinan yang berkewenangan.

2.2.3    Gaya Kepemimpinan.
Menurut Rivai (2006:64) gaya artinya sikap, gerakan, tingkah laku, sikap yang elok, gerak-gerik yang bagus, kekuatan, kesanggupan untuk berbuat baik. Sedangkan gaya kepemimpinan menurut Rivai (2006:64) adalah sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan stratagi yang disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin.
Menurut Rivai (2006:64) gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah, keterampilan sifat dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Gaya kepemimpinan yang menunjukkan, secara langsung maupun tidak langsung tentang keyakinan seorang pimpinan terhadap kemampuan bawahannya, artinya gaya kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, keterampilan, sifat, sikap yang sering diterapkan oleh seorang pemimpina ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya.
Pada saat yang bagaimanapun jika seseorang berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, telah melibatkan seseorang dalam aktivitas kepemimpinan. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mempengaruhi perilaku orang lain.
Menurut Sukanto Reksohadiprodjo dan Handoko (2001:96) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu cara pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya. Sedangkan menurut Stoner yang dialih bahasakan oleh Sindoro, (2001:165) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pimpinan dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja.


2.2.4    Kepemimpinan transformasional
            Robbins (2006:472) mengatakan pemimpin transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi para pengikut untuk melampaui kepentingan pribadi mereka dan yang mampu membawa dampak mendalam dan luar biasa pada para pengikut. Sedangkan Rivai (2006:15) mengatakan pemimpin transformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan yang memiliki karisma.
            Sementara Burns (1978) dalam Luthans (2006:653) mengatakan kepemimpinan transformasional lebih mendasarkan pada pergeseran nilai dan kepercayaan pemimpin serta kebutuhan para pengikutnya. Selanjutnya  Bass (1990) dalam Luthans (2006:653) mengatakan kepemimpinan transformasional membawa keadaan menuju kinerja tinggi pada organisasi yang menghadapi tuntutan pembaharuan dan perubahan, dengan membantu kepemimpinan tranformasional melalui kebijakan rekruitmen seleksi, promosi dan pelatihan,dan pengembangan akan menghasilkan kesehatan, kebahagiaan dan kinerja efektif pada organisasi masa kini.
            Tichy dan Devanna (1986) dalam Luthans (2006:653-654) mengatakan bahwa pemimpin transformasional yang efektif memiliki karakter sebagai berikut
Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai alat perubahan, mereka berani, mereka mempercayai orang lain, mereka motor penggerak nilai, mereka pembelajar sepanjang masa, mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian, mereka visioner.
                        Menurut Bass (1990) dalam Robins (2006:473) mengatakan kharakteristik pemimpin transformasional terdiri dari kharisma, inspirasi, stimulasi intelektual, dan pertimbangan individual.
            Kharisma berupa memberikan visi dan rasa atas misi, menanamkan kebanggaan, meraih penghormatan dan kepercayaan. Inspirasi berupa mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan simbol untuk memfokuskan pada usaha, menggambarkan maksud penting secara sederhana.
            Stimulasi intelektual berupa mendorong integensia, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara hati-hati. Pertimbangan individual berupa memberikan perhatian pribadi, melayani karyaan secara pribadi, melatih, menasehati.

2.3         Kepuasan Kerja
            Menurut Hariandja (2002:290) kepuasan kerja didefinisikan sebagai sejauh mana individu merasakan secara positif atau negatif berbagai macam faktor atau dimensi dari tugas-tugas dalam pekerjaannya. Sedangkan menurut Hasibuan (2009:202) kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan.
            Luthans (2006:252) mendefenisikan kepuasan keja sebagai keadaan emosi yang menyenangkan atau positif  yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.
            Menurut Gomes (2003:178) kepuasan kerja itu sendiri dapat diartikan sebagai hasil kesimpulan yang didasarkan pada perbandingan mengenai apa yang secara nyata diterima oleh pegawai dari pekerjaannya dibandingkan dengan apa yang diharapkan, diinginkan dan dipikirkan  sebagai hal yang pantas atau berhak baginya.
            Kepuasan kerja dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana  lingkungan kerja yang baik. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan  kerja dalam pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaannya dari pada  balas jasa walaupun balas jasa itu penting.
            Kepuasan di luar pekerjaan adalah kepuasan kerja karyawan yang dinikmati diluar pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil kerjanya agar dia dapat membeli kebutuhan-kebutuhannya. Kepuasan kerja kombinasi dalam dan  luar pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan pekerjaannya. Karyawan yang lebih menikmati kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan akan merasa puas jika hasil kerja dan balas jasanya dirasa adil dan layak. 

2.3.1    Teori-Teori Kepuasan Kerja
             Menurut Cantika (2005 : 190) bahwa teori-teori tentang kepuasan kerja dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu Disperancy theory, Equity theory, dan Two factor theory:
            Disperancy theory (Teori Perbedaan), teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter. Porter mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang  dirasakan (difference between how much of something there should be and how much there “is now”).
            Locke juga menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang bergantung pada perbedaan (disperancy)  antara nilai dari harapan yang diinginkan, dengan apa yang menurut perasaan atau persepsinya yang telah dicapai atau diperoleh dari pekerjaannya. Sebaliknya semakin jauh kenyataan yang dirasakan tersebut  di bawah standar minimum maka akan terjadi perbedaan negatif (negative disperancy), dan akan semakin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaan.
            Equity theory (Teori Keseimbangan), equity teori pertama kali dikembangkan oleh Adam (1963). Prinsip Teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia akan merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas suatu situasi yang diperoleh dengan membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain.   
            Two faktor theory (Teori Dua Faktor), teori dua factor yaitu merupakan factor yang membuat orang merasa puas (statisfers) dan faktor yang membuat orang merasa tidak puas (dissatisfiers). Dalam pandangan lain dua faktor yang dimaksud dalam teori ini adalah adanya dua rangkaian kondisi, pertama   kondisi menyebabkan orang merasa tidak puas, jika kondisi itu ada dan tidak diperhatikan, maka orang itu tidak akan termotivasi. 
            Kondisi kedua digambarkan Hezberg dalam Cantika (2005 : 193) sebagai serangkaian kondisi intrinsik, apabila kepuasan kerja terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan tingkat motivasi kerja yang kuat, sehingga dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik. Apabila kondisi tersebut tidak ada, maka kondisi tersebut ternyata tidak menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan.  Faktor-faktor motivator yang perlu diperhatikan kepada bawahan keberhasilan pelaksanaan (achievement), tanggung jawab (responsibilities), pengakuan (recognition), pengembangan (advancement) serta pekerjaan itu sendiri (the work it self). 
2.3.2    Ciri-Ciri Karyawan Yang Memiliki Kepuasan Dalam Bekerja
            Menurut Robbins (2006:105) ciri-ciri karyawan yang memiliki kepuasan dalam bekerja adalah karyawan yang merasa puas akan lebih efektif dalam mengerjakan pekerjaannya, tingkat absensi yang rendah dari pekerjaannya, karyawan lebih bertahan terhadap organisasinya, karyawan melaksanakan pekerjaannya melebihi standar yang ditetapkan organisasinya, karyawan meningkatkan kepuasan dan kesetiaan pelanggannya.

2.3.3    Cara Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan
            Robbins (2006:108) mengatakan ketidakpuasan karyawan dapat diungkapan dalam sejumlah cara. Misalnya, daripada mengundurkan diri, karyawan dapat mengeluh, menjadi tidak patuh, mencuri property organisasi, atau menghindari sebagian tanggungjawab kerja mereka. Cara karyawan mengungkapkan ketidakpuasan terdiri atas dua dimensi yaitu konstruktif, destruktif dan aktif / pasif. Dimensi-dimensi tersebut dijabarkan dengan cara jika keluar maka perilaku diarahkan ke meninggalkan organisasi, yang meliputi mencari posisi baru sekaligus mengundurkan diri, selanjutnya jika bersuara maka secara aktif dan konstruktif berupaya memperbaiki kondisi, yang meliputi menyarankan perbaikan, mendiskusikan masalah dengan atasan, dan sebagian bentuk kegiatan perserikatan. Sementara kesetiaan diwujudkan secara pasif namun optimis menunggu perbaikan kondisi, yang meliputi membela organisasi dari kritikan eksternal dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk “melakukan hal yang benar”, terakhir pengabaian, dimana secara pasif membiarkan keadaan memburuk, yang meliputi keabsenan atau keterlambatan kronis, penurunan usaha, dan peningkatan tingkat kesalahan

2.3.4     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
            Luhans (2006:243) mengatakan ada lima faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, pengawasan dan rekan kerja.
          Pekerjaan itu sendiri dilihat dalam hal dimana pekerjaaan memberikan tugas yang menarik kesempatan untuk belajar ,dan kesempatan untuk menerima tanggung jawab. selanjutnya gaji yang merupakan sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini bias di pandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi. Kemudian kesempatan promosi berupa kesempatan untuk maju dalam organisasi. Selanjutnya pengawasan, kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku serta rekan kerja, tingkat di mana rekan kerja pandai secara teknis dan mendukung secara sosial.


Tidak ada komentar: